Sukses

[KOLOM] Saat Sepak Bola Harus Sempurna

Simak ulasan Asep Ginanjar soal kesempurnaan di sepak bola modern.

Liputan6.com, Jakarta - Cukuplah sebuah bola. Ya, cukup sebuah bola dan siapa pun bisa bermain sepak bola di mana saja. Bila tak ada bola sungguhan, cukuplah bola yang dibuat dari apa saja.

Baca Juga

  • Lorenzo Prediksi Banyak Kejutan di MotoGP Qatar
  • Klasemen Liga Inggris: MU Tempel ManCity
  • Klub Jerman Ini Disponsori Rumah Bordil

Saat kanak-kanak, para bintang Brasil zaman dahulu macam Pele dan Toninho Cerezo terbiasa menendang bola yang dibuat dari gulungan beberapa kaus kaki.

“Saya pejamkan mata dan masih bisa melihat bola sepak pertama saya. Itu hanyalah kumpulan kaus kaki yang disatukan dengan diikat. Saya dan teman-teman 'meminjam' semua kaus kaki itu dari jemuran tetangga. Kami menghabiskan waktu berjam-jam menendang 'bola' itu,” kisah Pele dalam Why Soccer Matters, biografinya yang ditulis bersama Brian Winter.

Selain kaus kaki, barang-barang lain yang pernah dipakai Pele untuk bermain sepak bola adalah jeruk besar, beberapa kain pencuci piring yang disatukan, bahkan terkadang sampah-sampah yang dibulatkan. Terpenting baginya, itu menyerupai bola dan bisa ditendang ke sana ke mari.

Begitulah ketika sepak bola masih sebuah permainan belaka. Sepak bola sangat sederhana. Namun, di situlah letak keindahannya. Kesederhanaan itu membuat sepak bola bisa dimainkan siapa saja dan di mana saja.

Pele (tengah) bersama Tostao (kiri) dan Jairzinho (kanan) menjadi andalan Brasil pada Piala Dunia 1970. (dok. Sportskeeda)

Kini, hal itu tak berlaku lagi. Terutama di pentas sepak bola profesional. Di sana, sepak bola adalah pertunjukan istimewa dan bisnis yang luar biasa. Dalam bingkai itu, uang adalah pusat permainan dan kemenangan jadi hal yang sangat krusial.

Nick Davidson dan Shaun Hunt dalam buku Modern Football is Rubbish, mengecam hal tersebut. Menurut keduanya, peredaran uang yang terlalu banyak di sepak bola justru menjadikannya terlalu mahal untuk para fans.

“Televisi membayar terlalu besar untuk mendapatkan hak siar. Klub-klub membayar terlalu mahal para pemain. Dan hasil dari semua omong kosong itu, fans diminta membayar lebih mahal untuk menonton pertandingan,” urai Davidson dan Hunt.

Sesuai tuntutan bisnis, kesempurnaan lantas jadi tuntutan utama. Mungkin hanya di sepak bola, para produsen bola, sepatu, dan kostum berlomba-lomba menelurkan teknologi terbaru setiap tahunnya. Bola harus bulat sempurna, kostum dan sepatu harus ringan namun kuat.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

ELIMINASI KONTROVERSI

Atas nama kesempurnaan itu, sepak bola pun harus bersih dari kontroversi. Apalagi jika itu menyangkut persoalan gol atau tidak gol. Bagaimanapun, gol dan kemenangan amat penting dalam bingkai bisnis sepak bola. Kemenangan berarti uang yang lebih banyak.

Tak boleh lagi ada phantom goal seperti yang dicetak Geoff Hurst di final Piala Dunia 1966. Juga tak boleh ada lagi insiden tendangan Frank Lampard ke gawang Jerman di Piala Dunia 2010 yang tak disahkan menjadi gol.

Juli 2012, seiring putusan International Football Association Board (IFAB) memasukkan goal-line technology (GLT) ke dalam Laws of The Game, phantom goal dipastikan enyah dari pentas-pentas penting sepak bola. Di antaranya turnamen-turnamen yang dihelat FIFA dan beberapa liga, yakni Premier League, Serie-A, Bundesliga, dan Ligue 1.

Teknologi Garis Gawang (YASUYOSHI CHIBA / AFP)

GLT tak serta-merta membuat sepak bola benar-benar sempurna. Masih ada hal lain yang mengganjal, terutama menyangkut offside dan pelanggaran –termasuk di dalamnya soal diving. Di Jerman, musim ini saja banyak klub yang mencak-mencak karena putusan keliru soal dua hal itu. Beberapa kali pula wasit meminta maaf karena telah keliru dalam mengambil putusan.

Insiden paling menarik tentu saja saat wasit Felix Zwayer melakukan walk out saat memimpin laga Bayer Leverkusen kontra Borussia Dortmund, 21 Februari lalu. Zwayer melakukan hal itu karena pelatih Leverkusen, Roger Schmidt, tak mau meninggalkan lapangan setelah diusirnya.

Schmidt berkeras tak mau meninggalkan lapangan karena menilai Zwayer menzalimi timnya. Dia kesal gara-gara Zwayer membiarkan pelanggaran terhadap Stefan Kiessling yang kemudian menjadi titik awal gol Dortmund lewat serangan balik cepat.

Insiden tak berhenti di sana. Usai laga, Rudi Völler, Direktur Olahraga Leverkusen, meledak karena Zwayer tak memberikan penalti saat bek Dortmund, Sokratis Papastathopoulos, handball di kotak penalti. Menurut Völler, itu adalah “balas dendam” Zwayer terhadap Schmidt.

Rudi Voller saat protes keputusan wasit di laga melawan Borussia Dortmund (Reuters)

Insiden ini memperkuat desakan penggunaan rekaman video dalam pertandingan sepak bola. Sejak tahun lalu, Jerman sudah siap menguji coba hal tersebut andai FIFA memberikan lampu hijau. Hellmut Krug selaku pakar perwasitan Deutscher Fussball Liga (DFL) menilai bantuan video sebagai keharusan.

Akhir pekan ini, kepastian mengenai hal itu akan didapatkan Krug dan pihak-pihak lain yang sudah jengkel oleh keterbatasan wasit. Di Cardiff, Wales, 5 Maret 2016, penggunaan bantuan video untuk wasit termasuk dalam agenda rapat umum tahunan IFAB.

3 dari 3 halaman

MENGEBIRI PERAN WASIT

Di satu sisi, penggunaan perangkat teknologi canggih sangat positif dalam menjamin tercapainya permainan yang benar-benar bersih dan adil. Namun, pelbagai teknologi itu secara nyata mengebiri peran wasit.

Broadcast Solutions, sebuah perusahaan asal Jerman yang berbasis di Bingen, bahkan sudah memiliki gambaran lengkap. Peran wasit nanti bisa diambil alih tiga teknologi, yakni rekaman video, sensor pemain, dan pelacak gerakan.

Meski demikian, Sandro Glanzer selaku Direktur Pemasaran Broadcast Solutions, membantah anggapan teknologi bisa sepenuhnya menggantikan wasit. Keberadaan wasit tetap diperlukan, terutama dalam melakukan penilaian terhadap situasi-situasi di lapangan, memberikan peringatan, dan menjatuhkan hukuman.

Wakil Presiden FIFA, Jim Boyce menegaskan praktik diving atau berpura-pura jatuh sebagai kanker dalam olahraga sepak bola.Jikapun ada yang tereliminasi dari lapangan, itu adalah kelicikan. Para pemain akan berpikir ulang saat hendak menceploskan bola ke gawang dengan tangannya.

Demikian pula kala akan menjatuhkan diri secara dramatis di kotak penalti lawan. Bahkan, sangat mungkin tak akan ada lagi offside man, pemain yang bermain-main di garis offside dan berharap wasit mengambil putusan keliru.

Pelbagai teknologi itu pun sudah barang tentu mengurangi unsur “human” dalam sepak bola. Padahal, sejatinya, itu adalah bagian yang paling menarik.

Banyak kisah seputar sepak bola yang demikian populer justru menyangkut kekeliruan wasit. Sebut saja Phantom Goal Hurst, Hand of God Maradona, hingga laga kontroversial Korea Selatan kontra Italia di Piala Dunia 2002.

Satu lagi, sepak bola akan lebih mahal. Bagaimanapun, butuh biaya besar untuk menerapkan teknologi-teknologi baru tersebut.

Teknologi garis gawang akan dipergunakan di Piala Eropa 2016. (AFP/John MacDougall)

Untuk instalasi GLT saja, klub-klub di Jerman dan Inggris setidaknya merogoh kocek tak kurang dari Rp4,5 miliar. Bila tak diintegrasikan dengan GLT, tentu biaya untuk teknologi deteksi offside dan pelanggaran tak kalah besar.

Kesederhanaan, kenakalan dan kelicikan pemain, serta keterbatasan wasit nantinya hanya akan ada di sepak bola pinggiran. Sepak bola yang dimainkan oleh anak-anak di lapangan becek atau berdebu.

Persis seperti sepak bola yang dimainkan Pele dan Cerezo saat masih kecil dulu. Juga di pentas-pentas sepak bola amatir. Di sepak bola profesional, apalagi di pentas-pentas besar, sepak bola haruslah sempurna.

*Penulis adalah pemerhati sepak bola yang kerap menjadi komentator di beberapa televisi swasta nasional. Penulis juga pernah jadi jurnalis di Tabloid Soccer.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini