Sukses

Kolom: Messi, Inggris dan Ekspektasi Tinggi

Simak ulasan Asep Ginanjar soal rasa frustrasi Lionel Messi dan Inggris yang gagal rebut juara.

Liputan6.com, Jakarta - Sungguh tragis nasib Lionel Messi. Impiannya memberikan trofi bagi Argentina kandas lagi. Seperti setahun silam, Cile menaklukkan Tim Tango di final lewat drama adu penalti. Pedihnya, kali ini diwarnai kegagalan eksekusi Messi.

Baca Juga

  • Maradona: Jangan Ganggu Messi!
  • Jelang Wales Vs Belgia, Bale Dijagokan Ungguli Hazard
  • Barcelona Rampungkan Transfer Bek Tangguh Prancis

Sang megabintang frustrasi. Usai laga itu, Messi undur diri, tak akan memperkuat Tim Tango lagi. Maklum saja, dia selalu gagal menuntaskan misi. Empat kali melaju ke final Copa America dan Piala Dunia, empat kali pula dia gagal merebut trofi.

Banyak orang tak yakin Messi benar-benar ingin berhenti. Mario Kempes, mantan striker Tim Tango yang menjadi pemain tersubur di Piala Dunia 1978, yakin sang megabintang akan putar haluan dan mau mengenakan jersey timnas lagi. Persis seperti lima tahun silam ketika dia bagai dimusuhi oleh seantero negeri sendiri.

Akan tetapi, tidak terlalu sulit untuk memahami kefrustrasian Messi. Dalam satu dekade ini, dia memikul beban mahaberat. Setiap kali mengenakan kostum Tim Tango, kakinya seperti diganduli bandul besi. Ekspektasi seluruh negeri dipikulnya sendirian. Ekspektasi untuk menghadirkan kembali trofi. Copa America 1993 adalah tonggak kejayaan terakhir.

Sialnya, setiap kali kegagalan yang diraih, Messi menjadi sasaran kritik. Tak sedikit yang menilainya tak punya komitmen kuat saat membela Tim Tango. Bagi Messi, itu tuduhan yang menyakitkan. Di Piala Dunia 2014, andai tanpa gol-golnya, tidak mungkin Argentina lolos ke final.

Foto: Rushlane

Di Copa America Centenario, dia kembali menunjukkan komitmennya itu. Meski baru pulih dari cedera punggung yang memaksanya absen saat melawan Cile pada laga awal fase grup, dia menjadi motor yang mengantar Argentina ke final. Total lima gol dan empat assist dibuatnya.

Ketika kontribusi besarnya itu lagi-lagi tak berbuah trofi, sudah sewajarnya dia memilih mundur. Itu bisa dilihat sebagai mekanisme pembelaan diri sebelum badai kritik kembali menghunjamnya bertubi-tubi.

Messi letih dengan kisah yang selalu berulang. Dia lelah dianggap midas yang pasti bisa mengakhiri penantian panjang, namun dihujat bagai penjahat nomor wahid saat gagal.

"Tim nasional berakhir untuk saya. Saya memutuskan ini (pensiun) untuk diri saya dan untuk banyak orang yang menginginkan jadi juara. Saya telah mencoba sangat keras, tapi tidak pernah meraihnya (juara)," ujar Messi, seperti dilansir Livemint.

Derita Inggris

Bukan hanya Messi yang menderita oleh ekspektasi mahatinggi seperti itu. Timnas Inggris pun begitu. Setiap kali lolos ke putaran final kejuaran besar, entah Piala Eropa atau Piala Dunia, publik Inggris selalu menuntut kejayaan yang terakhir kali direngkuh pada 1966. Semakin lama penantian, semakin besar ekspektasi yang tumbuh. Itu sontak berubah jadi hujan kritik ketika The Three Lions pulang dengan tangan hampa

Itu pula yang terjadi di Piala Eropa 2016 Prancis kali ini. Sebelum berlaga, anak-anak asuh Roy Hodgson diyakini mampu mengakhiri penantian setengah abad. Publik makin terbuai oleh kemenangan 3-2 atas Jerman, sang juara dunia, dalam sebuah uji tanding.

Apalagi Joe Hart cs. membawa bekal luar biasa. Selama menjalani kualifikasi, tak satu poin pun luput dari genggaman mereka. Di Prancis, Inggris adalah satu-satunya tim dengan modal sempurna. Sejumlah pemain pun tengah dalam performa terbaik. Sebut saja Harry Kane, Jamie Vardy, Dele Alli, dan Eric Dier.

Ekspektasi publik Inggris pun didukung pelbagai rumah taruhan. Inggris adalah salah satu unggulan teratas. Hanya Prancis, Jerman, dan Spanyol yang ditempatkan di atas Kane dkk.

Tim nasional Inggris tersingkir dari Piala Eropa 2016 setelah kalah 1-2 dari Islandia, Senin (27/6/2016). (AFP/Anne-Christine Poujoulat)

Tak mengherankan bila amarah menggelegak begitu Inggris lagi-lagi kandas. Sudah begitu, mereka disingkirkan tim semenjana, Islandia. Gary Lineker dengan tegas menyatakan itu sebagai kekalahan terburuk dalam sejarah The Three Lions.

Steven Gerrard, eks kapten Inggris, mengakui beban yang sangat berat dari ekspektasi mahatinggi publik Inggris selama ini. Menurut dia, itu menciptakan ketakutan tersendiri. Apalagi bukti sejarah menunjukkan, badai kritik akan datang bila kegagalan yang dibawa pulang.

"Setiap kali Inggris tertinggal dari lawan, para pemain akan langsung memikirkan konsekuensi dari kekalahan yang diterima saat pulang. Ketakutan itu sama besarnya dengan keinginan untuk membalikkan keadaan," kata Gerrard.

Menurut Gerrard, andai kultur seperti ini terus dibiarkan, sebaik apa pun pemain yang dimiliki, Inggris tak akan pernah bisa bangkit. Bila ketakutan akan kekalahan tak bisa disingkirkan, The Three Lions tak akan pernah bisa menghapus trauma, selalu gagal di turnamen-turnamen besar.

Untuk jadi juara, sekadar megabintang, rekor bagus saat kualifikasi, dan materi pemain mumpuni memang tidaklah cukup. Mentalitas juga memegang peran penting. Begitu pula kesiapan taktik dalam setiap pertandingan.

Inggris dipaksa pulang kampung setelah takluk 1-2 dari Islandia pada babak 16 besar Piala Eropa 2016, Selasa (28/6/2016) dini hari WIB. (Reuters/Yves Herman)

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Harus Mampu Adaptasi

Inggris, juga Argentina, perlu melirik Jerman. Saat menjuarai Piala Dunia 2014 di Brasil, Die Mannschaft tidak melulu bertumpu pada kemampuan individual pemain. Patut dicatat, Jerman tak punya pemain sekaliber Messi atau Cristiano Ronaldo.

Kunci keberhasilan Jerman terletak pada persiapan matang sebelum pertandingan. Dalam hal ini, Urs Siegenthaler adalah sosok yang sangat penting. Dialah yang memantau semua calon lawan, mengumpulkan data-data, dan menganalisisnya. Dari situlah pelatih Joachim Löw akan menentukan counter strategy yang tepat.

Untuk kebutuhan ini, Jerman bahkan didukung teknologi big data dari perusahaan perangkat lunak SAP. Dengan dukungan teknologi ini, Jerman bisa mengetahui detail semua pemain lawan. Dalam beberapa kasus, ini penting untuk merumuskan cara mengunci pergerakan pemain tertentu.

Di Piala Eropa kali ini, Jerman masih terlihat adaptif terhadap lawan-lawan yang dihadapi. Tak terkecuali Slowakia yang sempat membantai mereka 1-3 dalam uji tanding.

Bek Jerman, Jerome Boateng (kanan), menghalau bola tembakan striker Polandia, Robert Lewandowski, pada laga kedua Grup C Piala Eropa 2016 di Stade de France, Jumat (17/6/2016) dini hari WIB. (AFP/Franck Fife))

Perhitungan matang juga diperlihatkan Italia. Sejak laga awal melawan Belgia, pelatih Antonio Conte terlihat tahu betul hal yang harus dilakukan untuk mematikan motor lawan dan membuat mereka tak bisa mengembangkan permainan. Itu lagi-lagi ditunjukkan kala menghadapi Spanyol, sang petahana yang memiliki gelandang-gelandang genius.

"Pelatih mempersiapkan laga dengan sangat baik. Dia bekerja sangat keras untuk itu. Saya tak bisa menjelaskan betapa hebatnya dia," papar striker Graziano Pelle. "Dia tak berbelit-belit, sangat simpel dalam memberi penjelasan. Tapi, dia menuntut kami untuk menerapkan segala yang sudah disiapkan sepanjang pekan."

Kemampuan membuat persiapan matang inilah yang akan membuat pertemuan Italia dengan Jerman di Bordeaux, 2 Juli, sangat menarik untuk ditunggu. Sangat mungkin laga nanti akan seperti permainan catur dan pemenangnya ditentukan oleh satu kesalahan kecil saja.

Jerman dipastikan bakal penasaran untuk kalahkan Italia. Pada dua event yaitu Piala Dunia 2006 dan Piala Eropa 2012, Jerman selalu kalah dari Italia. Padahal, pada 2006 lalu, Jerman tampil sebagai tuan rumah Piala Dunia.

*Penulis adalah jurnalis, pengamat sepak bola dan komentator. Tanggapi kolom ini @seppginz.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini