Sukses

KOLOM: Saatnya Muenchen Lupakan Robbery

Robbery atau Robben dan Ribery selalu jadi tulang punggung bagi Muenchen. Bagaimana jika tak diperkuat keduanya? Simak ulasan Asep Ginanjar.

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah hadiah semestinya menyenangkan penerimanya. Bagaimanapun, biasanya hadiah hanya didapatkan pada momen tak biasa atau bahkan mungkin saja istimewa. Selain sebagai penghargaan dan penghormatan, terutama atas prestasi yang diraih, hadiah juga kerap diberikan sebagai kenang-kenangan.

Sabtu (16/7), hadiah istimewa diterima Karl-Heinz Rummenigge, chairman yang juga salah satu legenda Bayern Muenchen. Dalam rangka peringatan ulang tahunnya yang ke-60, Rummenigge mendapatkan kado berupa laga persahabatan antara Bayern dan klub kota kelahirannya, SV Lippstadt 08.

Pada awalnya, kado itu terasa manis. Dalam kurun waktu 33 menit, Bayern berhasil unggul 3-0. Duo Robbery, Arjen Robben dan Franck Ribery, tampil menawan dan ikut membuat gol.

Akan tetapi, dua menit setelah gol ketiga yang dibuat Ribery, kado itu menjadi hambar dan lantas terasa pahit. Saat sprint mengejar bola, tiba-tiba saja Robben terpincang-pincang sambil memegangi pahanya. Winger asal Belanda itu pun harus meninggalkan lapangan dan dokter  memvonisnya harus absen selama enam pekan.

Ekspresi pelatih Bayern Munchen, Carlo Ancelotti, saat melawan Manchester City dalam laga uji coba di Allianz Arena, Munchen, Rabu (20/7/2016). Bayern menang 1-0 atas City. (AFP/Christof Stache)

Bukan hanya bagi Rummenigge, kepahitan itu juga dirasakan Carlo Ancelotti, pelatih anyar Die Roten. Saat melihat Robben begitu trengginas, sejumput senyum sempat menghiasi bibirnya. Bagi pelatih mana pun, Robben yang sehat adalah anugerah luar biasa.

Robben cedera bukanlah berita langka. Seperti julukannya, Si Kaki Kaca, winger asal Belanda itu begitu rapuh. Setiap musim, pasti ada masa yang dihabiskannya di ruang perawatan.

Berdasarkan data Sueddeutsche Zeitung, Robben rata-rata hanya tampil dalam 47 persen dari total laga Die Roten. Paling banyak, keterlibatannya dalam semusim hanya mencapai angka 58 persen. Bandingkan dengan Thomas Mueller yang rata-rata partisipasinya di atas 75 persen.

Arjen Robben dan Franck Ribery

Meski begitu, cedera Robben tetaplah masalah sekaligus berita besar. Hal itu juga berlaku bagi Franck Ribery. Pasalnya, meski terbiasa tampil tanpa Robbery, Bayern tetap saja belum mampu mengakali dengan baik ketiadaan salah satu atau keduanya. Performa Bayern pasti menurun dan seolah tanpa inspirasi ketika menghadapi tembok kokoh di pertahanan lawan.

Tak Butuh Pengganti

Setiap kali Robben atau Ribery cedera, setiap kali itu pula wacana soal penggantinya mengemuka. Kali ini pun begitu. Nama Leroy Sane, winger muda FC Schalke 04, dikabarkan jadi incaran Bayern meski harganya sangat tinggi. Meski begitu, Ancelotti menegaskan Bayern tak perlu tambahan pemain. Dia yakin skuat yang ada bisa menutup ketiadaan Robben.

Hampir setiap musim, pengadaan back up bagi Robben dan Ribery merupakan isu utama. Itu karena duet Robbery punya peran penting di Bayern. Sejak terbentuk pada masa pelatih Louis van Gaal musim 2009-10, Robbery memang menjadi kekuatan tersendiri. Merekalah kunci dan inti permainan Die Roten.

Apa pun pola atau falsafah yang diusung, para pelatih Bayern selalu menempatkan Robbery sebagai sumbu utama. Tak terkecuali Pep Guardiola yang dikenal sangat gila taktik. Dalam tujuh musim terakhir, setiap kali tampil tanpa Robbery, penampilan Die Roten terasa hambar, ibarat sayur tanpa garam, bagai tentara tanpa senjata.

Hal yang menjadikan Robbery demikian vital bagi Bayern terletak pada kemampuan menyuguhkan magis. Dalam kesulitan yang dihadapi di lapangan, keduanya bisa menjadi solusi. Di Bayern, tak ada lagi pemain lain yang seperti itu. Tidak Thomas Müller, tidak Robert Lewandowski, tidak pula Thiago Alcantara.

10. Leroy Sane, Schalke 04, baru berusia 20 tahun musim ini sudah tampil 21 kali dengan torehan lima gol dan empat assist. (AFP/Patrik Stollarz)

Ketiadaan pemain spesial yang bisa menghadirkan keajaiban itu ditengarai sebagai sebab utama kegagalan Bayern menjuarai Liga Champions, terutama dalam dua musim terakhir. Musim lalu, Bayern disingkirkan Atletico Madrid dalam dua laga tanpa Robben, sementara Ribery tampil dalam kondisi tidak fit. Semusim sebelumnya, Barcelona menghajar Bayern yang tak diperkuat Robbery.

Musim lalu, fans Bayern sempat dibuai oleh performa aduhai dua rekrutan anyar, Douglas Costa dan Kingsley Coman, sebagai pengganti Robbery. Sebutan duo Coco pun sempat pupoler dan sebagian fans yakin mereka akan menggusur Robbery.

Akan tetapi, itu rupanya harapan yang terlampau dini. Duo Coco hanya pesona sesaat. Costa memang luar biasa sepanjang paruh pertama. Selusin assist dibuat pemain asal Brasil tersebut. Tapi, memasuki paruh kedua, dia melempem dan membuat dua assist saja.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sistem Khusus

Itu membuktikan paradigma pengadaan back up sepadan tidaklah tepat. Patut dicatat, sebelumnya, Xherdan Shaqiri pun gagal memenuhi ekspektasi publik untuk menjadi pengganti Ribery. Alih-alih menjadi pengganti, dia kini malah terdampar di klub semenjana Premier League, Stoke City.

Bayern sepatutnya fokus pada perumusan sistem khusus yang digunakan ketika Robbery tak ada di lapangan. Seiring pertambahan gelandang tengah mumpuni, terbuka kemungkinan menggeser inti kekuatan dari sayap ke pusat permainan. Xabi Alonso, Arturo Vidal, Thiago Alcantara, dan Renato Sanches sepertinya bisa diandalkan untuk mengakali sistem baru tersebut.

Itu bukan harapan hampa karena Ancelotti adalah sosok istimewa. Ancelotti memang bukan pelatih yang gemar bereksperimen, mengutak-atik taktik. Tapi, itu bukan berarti dia tak bisa diharapkan untuk membuat terobosan besar, membuat sistem permainan yang tetap aduhai dan mematikan tanpa Robbery. Patut diingat, dalam falsafah sepak bola Ancelotti, pemain adalah intinya.

“Tugas saya adalah menciptakan sistem permainan dengan menggunakan karakteristik pemain-pemain yang ada dan membuat mereka senyaman mungkin dengan sistem itu,” ungkap Ancelotti dalam bukunya, Quiet Leadership: Winning Hearts, Minds and Matches.

8. Renato Sanches, gelandang berusia 18 tahun ini adalah produk akademi Benfica yang kemudian dipromosikan ke tim senior Benfica. Berkat bakatnya yang luar biasa, tak heran bila Bayern Munchen pun meminangnya. (AFP/Francisco Leong)

Patut dicatat, setidaknya dua kali dia membuat perubahan jitu terkait sistem permainan. Semasa di AC Milan, dia sanggup menciptakan sistem yang memungkinkan Andrea Pirlo, Kaka, Clarence Seedorf, dan Rui Costa tampil bersama-sama. Di Real Madrid, dia berpaling ke-4-3-3 demi mengakomodasi kedatangan Gareth Bale dan ketidaknyamanan Cristiano Ronaldo di posisi second striker.

Sistem alternatif ini penting bagi Bayern. Seiring pertambahan umur dan cedera yang terus mendera, tak mungkin lagi Robbery diharapkan tampil penuh dalam setiap pertandingan.

Selain itu, sistem permainan Bayern yang mengandalkan serangan dari sayap sudah sangat dipahami para pesaing, baik di Jerman maupun Eropa. Di Bundesliga 1 saja, dari 53 kemenangan Bayern dalam dua musim terakhir, 15 di antaranya atau 28 persen berupa kemenangan tipis, hanya unggul satu gol. Ini membuktikan para rival sudah tahu cara meredam Bayern.

Andai perubahan tersebut tak mampu diciptakan Ancelotti, rasanya akan makin sulit bagi Bayern merebut trofi. Apalagi di Liga Champions yang diikuti klub-klub teras Eropa.

*Penulis adalah jurnalis, pengamat sepak bola dan komentator. Tanggapi kolom ini di @seppginz.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.