Sukses

KOLOM: Asa Lain untuk Timnas Indonesia

Simak ulasan Asep Ginanjar terkait kiprah timnas Indonesia di Piala AFF.

Liputan6.com, Jakarta Akhir pekan ini, timnas Indonesia kembali berlaga di kancah internasional. Tepatnya di Piala AFF. Setelah urung mengikuti Pra-Piala Dunia 2018 dan Kualifikasi Piala Asia 2019, penampilan di Piala AFF nanti adalah pelepas dahaga. Siapa pun yang mengaku pencinta sepak bola nasional pasti akan mengarahkan perhatian ke Filipina, tempat Tim Garuda berjibaku menghadapi tim-tim tetangga sekawasan.

Timnas Indonesia, diakui atau tidak, adalah pemersatu. Saat timnas Indonesia beraksi, semua perbedaan melebur. Kubu-kubuan, perselisihan, dan kebencian ditepikan. Seberapa benci pun kepada PSSI, pencinta sepak bola nasional akan tetap mendukung Timnas Indonesia. Pelbagai konflik yang memuakkan tak pernah bisa memalingkan kita dari Tim Garuda.

Bagi timnas, para pencinta sepak bola negeri ini tak pernah lelah berharap. Kali ini pun begitu. Tengok saja poling yang dibuat Goal.com tepat pada awal November lalu. Dalam poling via Twitter, 44 persen dari 5.268 responden yakin timnas bisa juara. Adapun yang pesimistis, menilai timnas akan tersisih di penyisihan grup, hanya 23 persen.

Harapan bagi Tim Garuda seperti tak pernah berbatas. Meski berkali-kali kecewa karena timnas selalu gagal meraih trofi, asa melihat timnas berjaya tak pernah padam. Seberapa pincang dan buruknya persiapan tim, para pencinta sepak bola nasional tak lelah membayangkan kapten timnas mengangkat piala ke udara.

Itu karena cinta yang luar biasa. Cinta itu yang menyirami keyakinan bahwa sepanjang apa pun, penantian pasti berujung. Tak peduli itu terjadi berkat kehadiran generasi emas, belas kasih Dewi Fortuna atau keajaiban yang datang begitu saja.

Cinta memang buta dan tak perlu dirasionalisasi. Untuk Piala AFF kali ini pun, secara realistis, sebenarnya peluang Indonesia untuk jadi juara terbilang berat. Pelatih Alfred Riedl sempat mengungkapkan, Indonesia tak bisa menurunkan tim terbaik karena adanya kesepakatan dengan klub-klub yang ikut di Torabika Soccer Championship (TSC) 2016 yang membatasi pelatih timnas untuk membawa paling banyak dua pemain dari satu klub. Sudah begitu, jelang berangkat, Irfan Bachdim mengalami cedera dan harus absen.

Pemain klub Consadole Sapporo, Irfan Bachdim kembali mengikuti seleksi timnas Indonesia di Stadion Pakansari, Bogor, Selasa (9/8). Di AFF 2016, Indonesia akan langsung berhadapan dengan Thailand di Manila. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Dalam dua uji tanding terakhir, permainan Indonesia pun masih berantakan. Koordinasi antarlini masih lemah, begitu pula transisi permainan dari bertahan ke menyerang dan sebaliknya. Bahkan, ada kesan beberapa pemain tidak tampil sesuai kemampuannya. Entah karena dia yang tak mampu menjalankan peran sesuai skema dan strategi Riedl, atau Riedl yang tak menempatkan pemain di posisi yang sesuai kemampuannya.

Tahun Anomali

Piala AFF pun seolah neraka bagi Indonesia. Di ajang yang dulu bernama Piala Tiger ini, Indonesia selalu menuai kekecewaan. Bahkan, saat berhasil lolos ke final pun, gelar juara selalu luput dari genggaman. Sungguh menjengkelkan. Di dua penyelenggaraan terakhir, Tim Garuda malah selalu tersingkir di fase grup.

Meski demikian, tidak ada yang tidak mungkin. Der ball ist rund, bola itu bulat, kata Sepp Herberger. Apalagi, di sepak bola, 2016 adalah tahun penuh anomali. Leicester City untuk kali pertama menjuarai Premier League. The Foxes juga tim pertama yang juara meski musim sebelumnya tak berada di 3-besar. Lalu, Portugal menjuarai Piala Eropa. Lagi-lagi, itu prestasi pertama Seleccao di turnamen besar.

Melongok liga-liga besar Eropa musim ini, ada OGC Nice yang masih memuncaki klasemen Ligue 1. Sudah tujuh pekan mereka ada di sana. Padahal, puncak klasemen bak impian bagi klub semenjana ini. Mereka terakhir kali berada di posisi teratas klasemen Ligue 1 pada musim 2003-04. Itu pun hanya pada pekan kedua.

Teerasil Dangda dkk. kembali menelan kekalahan di ajang kualifikasi Piala Dunia 2018 putaran ketiga zona Asia. (AFP/Fayez Nureldine)

Jadi, tak salah bila masih ada optimisme tinggi terhadap kiprah Indonesia di Filipina. Memang benar Tim Garuda berada di grup berat karena tergabung dengan juara bertahan, Thailand, dan sang tuan rumah, Filipina. Namun, patut dicatat, performa kedua tim itu akhir-akhir ini pun tidaklah bagus.

Sepanjang 2016, dari sepuluh pertandingan yang dilakoni, Thailand hanya menangguk dua kemenangan. Kedua-duanya dalam uji tanding, yakni atas Suriah dan Yordania. Itu pun kemenangan atas Suriah digapai lewat adu penalti. Di Pra-Piala Dunia, tim asuhan Kiatisuk Senamuang itu terdampar di posisi juru kunci, baru menuai dua poin.

Filipina agak lebih baik karena mampu memenangi tiga dari enam laga tahun ini. Namun, ketiga kemenangan itu tipis saja. Mereka menang 3-2 atas Korea Utara serta dua kali menaklukkan Kirgistan dengan skor 2-1 dan 1-0.

Lawan lainnya, Singapura, juga hanya memetik tiga kemenangan dalam sepuluh pertandingan. Sebelum menang 1-0 atas Kamboja pada uji tanding terakhir, Singapura sempat gagal mencetak gol dalam tiga partai beruntun.

Memberi Teladan

Melihat fakta-fakta tersebut, sangat beralasan bila beberapa penggawa timnas optimistis lolos dari penyisihan grup. Namun, seperti dituturkan Bima Sakti, eks kapten timnas, Boaz Solossa cs. tak perlu terlalu muluk menargetkan juara. Dalam bahasanya, timnas cukup bermain aman saja, fokus dan tampil maksimal dalam setiap pertandingan.

Nasihat itu patut diperhatikan. Lagi pula, ada hal lain yang patut ditunjukkan selama di Filipina. Tim Garuda adalah miniatur Indonesia yang penuh keragaman. Di tengah kegaduhan nasional saat ini, Boaz dkk. patut menunjukkan bahwa hal terpenting dalam hidup berkebangsaan adalah kerja sama, bukan saling caci, saling tuding, saling curiga, dan saling benci.

Trofi juara memang penting. Namun, lebih penting bagi tim asuhan Riedl menunjukkan bahwa perlu kerja dan karya untuk menjadi besar, bukan dengan kegaduhan dan caci maki. Bukan pula dengan saling menjatuhkan di antara sesama anak bangsa. Kalah dan menang, Tim Garuda harus tetap menunjukkan kesatuan dan kegigihan.

Striker timnas Indonesia Ferdinand Sinaga. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Untuk setidaknya sepekan ke depan, Tim Garuda akan jadi semacam hiburan yang memalingkan kita dari hiruk-pikuk politik nasional yang seolah enggan mereda. Kita bisa cooling down sambil belajar lagi tentang makna kebangsaan dari mereka yang berjibaku di lapangan.

Kita bisa kembali teringat bahwa seharusnya hanya merah-putih yang patut dijunjung tinggi, bukan fanatisme dan ego terhadap seseorang atau golongan. Perjuangan yang patut ditempuh hanyalah demi kebaikan dan kejayaan bagi segenap bangsa ini. Inilah common goal yang harus ditempatkan di posisi tertinggi.

Ketika Indonesia Raya berkumandang setiap jelang laga nanti, semoga semua anak bangsa Indonesia kembali teringat bahwa merah-putih yang dirajut dengan cucuran darah para pahlawan terlalu agung untuk dicabik-cabik oleh egoisme dan keangkuhan.

Di Filipina, semoga semua asa itu terpenuhi. Tentu akan lebih afdal bila pada akhirnya Tim Garuda bisa seperti Leicester dan Portugal yang mengakhiri kompetisi sebagai tim terbaik. Semoga...


*Penulis adalah komentator dan pengamat sepak bola. Tanggapi kolom ini @seppginz.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini