Sukses

KOLOM: Timnas Indonesia Tak Boleh Jemawa

Simak ulasan Asep Ginanjar terkait duel semifinal Piala AFF 2016 antara timnas Indonesia vs Vietnam.

Liputan6.com, Jakarta - Setelah melalui perjuangan berat selama sepekan di Filipina, timnas Indonesia akhirnya lolos dari lubang jarum. Kemenangan 2-1 atas Singapura pada laga pamungkas memastikan Indonesia lolos ke semifinal karena pada laga lain, Filipina kalah 0-1 dari Thailand.

Kegembiraan membuncah di Stadion Rizal Memorial dan seantero Indonesia ketika Stefano Lilipaly mencetak gol penentu kemenangan 2-1 atas Singapura pada menit ke-85. Kelegaan luar biasa juga terekspresikan nyata saat Masoud Tufaliyeh, wasit asal Suriah, menyudahi laga.

Kegembiraan, kelegaan, dan euforia yang timbul sangat bisa dipahami. Timnas Indonesia datang ke Filipina tanpa ekspektasi tinggi. Sampai-sampai PSSI tak sedari awal menyiapkan venue semifinal. Bahkan, ketika Boaz Solossa cs. memastikan lolos dari penyisihan grup, PSSI malah menyebut Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) sebagai salah satu opsi. Padahal, nyata-nyata rumput di GBLA masih dalam perawatan pasca-PON.

Kelolosan kali ini pun oasis yang menyegarkan setelah Indonesia absen sekitar setahun dari pentas internasional karena sanksi FIFA. Khusus di Piala AFF, ini menegaskan bahwa kegagalan lolos ke semifinal dalam dua gelaran sebelumnya bukanlah tradisi baru, melainkan hanya nasib buruk.

Kini, tantangan baru harus dihadapi. Vietnam menjadi duri bagi timnas Indonesia untuk melangkah ke final, hal yang terakhir kali dilakukan pada 2010. Tentu bukan duri biasa karena Vietnam menyapu bersih tiga kemenangan di penyisihan Grup B. Mereka pun, seperti Thailand, hanya kebobolan dua gol. Itu tersedikit di antara seluruh peserta putaran final Piala AFF kali ini.

Pelatih Timnas Indonesia, Alfred Riedl (Foto: Helmi Fithriansyah / Liputan6.com)

Meski begitu, ada keyakinan tinggi terhadap tim asuhan Alfred Riedl untuk laga kali ini. Berbeda dengan saat menjalani penyisihan grup, timnas Indonesia kini disokong optimisme luar biasa. Tiba-tiba saja, ekspektasi melambung tinggi. Para pakar dan pengamat sepak bola nasional optimistis Boaz cs. bisa melewati adangan Le Cong Vinh dkk.

Euforia yang tumbuh ini sebenarnya lebih bersifat emosional. Dia tumbuh bukan karena Tim Garuda digdaya selama di Filipina, melainkan lebih disebabkan kecintaan dan kebanggaan terhadap spirit luar biasa yang ditunjukkan Boaz Solossa dkk.

Dalam berbagai ulasan, tak satu pun pengamat atau pakar yang membeberkan keunggulan teknis Indonesia atas Vietnam. Tak ada yang menyebutkan Boaz dkk. lebih superior dari Cong Vinh cs. Kebanyakan menunjuk semangat juang sebagai kekuatan utama Indonesia. Ada yang terang-terangan menyebut hal itu sebagai faktor penentu yang akan menutupi kekurangan dalam hal taktik dan skill.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Ancaman Ekspektasi

Satu pendapat menarik datang dari Indra Sjafri, pelatih Bali United yang juga eks pelatih timnas U-19. Meski optimistis, dia meminta publik sepak bola Indonesia untuk lebih realistis, tak menaruh ekspektasi terlalu tinggi. Menurut dia, mengingat persiapan yang serbaminim, lolos ke semifinal saja sudah prestasi bagus bagi Indonesia.

Boleh-boleh saja publik sepak bola Indonesia menaruh harapan besar, membayangkan Boaz dkk. meraih trofi juara. Itu malah sebuah kewajaran. Namun, ekspektasi yang terlalu tinggi justru bisa menjadi bumerang. Bukan hanya melenakan dan menurunkan kewaspadaan, itu juga bisa menjadi belenggu yang mengganduli kaki Boaz cs.

Ekspektasi yang terlalu tinggi bukannya menumbuhkan motivasi. Tak jarang, itu malah membangkitkan ketakutan. Takut terhadap kekalahan, takut mengecawakan para pendukung setia. Beban inilah yang lantas membuat para pemain tak lagi lepas, nothing to lose, saat berada di lapangan.

Tengoklah ke belakang, betapa sering Tim Garuda yang terbang tinggi justru terjatuh dan mati karena ekspektasi yang kelewat tinggi. Pada 2010, ekspektasi berlebihan ini pula yang dikeluhkan Riedl. Menurut pelatih asal Austria tersebut, harapan publik untuk melihat timnas berjaya menimbulkan tekanan tersendiri pada diri para pemain.


 Boaz Salossa (Liputan6.com/Helmi Fitriansyah)

Saat menjalani persiapan jelang bertolak ke Filipina, Riedl kembali mengungkapkan hal itu. Dia secara implisit menyebut ekspektasi berlebihan sebagai bahaya laten bagi Boaz dkk. Pasalnya, dalam ekspektasi itu, para pendukung timnas menutup mata terhadap semua kendala yang dihadapi timnya.

Euforia dan ekspektasi publik sepak bola memang tak bisa diatur apalagi dibendung. Dia tumbuh dari kecintaan yang teramat besar dan makin mekar seiring langkah gemilang yang ditampilkan Tim Garuda. Hal terpenting, anak-anak asuh Riedl tak terjebak pada euforia dan ekspektasi itu. Boaz cs. tak boleh terlena ataupun terbebani. Mereka harus tetap berjalan di rel yang sama dengan saat berlaga di Filipina.

Saat melakoni tiga laga di penyisihan grup, kunci utama Boaz dkk. adalah bermain lepas, tanpa beban. Mereka tak down meski sempat berada di ujung tanduk dan tertinggal lebih dulu pada laga pamungkas yang sangat krusial. Mereka hanya berusaha bermain sebaik-baiknya. Itu sangat terbantu oleh para lawan yang terkesan agak meremehkan karena Indonesia baru saja lepas dari sanksi FIFA.

Di semifinal, sangat penting bagi Tim Garuda untuk tetap bermain lepas seperti itu. Mereka hanya perlu fokus pada upaya tampil sebaik-baiknya, tanpa beban, dan tak terlalu memikirkan ekspektasi publik yang melambung tinggi.

Lagi pula, Indonesia tak pantas disebut unggulan pada laga nanti. Patut diingat, Vietnam meraup hasil lebih baik di penyisihan grup. Status itu tak berubah meski di Stadion Pakansari, Sabtu (3/12), Vietnam adalah tim tamu. Pakansari memang kandang kita, namun itu bukan jaminan pasti untuk merebut tiga poin.

3 dari 3 halaman

Laga Ketat

Patut diingat, Vietnam punya rekor lumayan baik saat melakoni laga tandang di semifinal Piala AFF. Sejak format kandang-tandang untuk laga semifinal diberlakukan pada 2004, empat kali Vietnam lolos ke babak itu.

Hasilnya, mereka hanya sekali kalah di kandang lawan. Itu terjadi saat melawat ke kandang Malaysia pada 2010. Dalam tiga lawatan lainnya, mereka sanggup mencuri kemenangan tipis dari Malaysia (2014) dan Singapura (2008), serta imbang tanpa gol dengan Thailand (2007).

Sebaliknya, rekor kandang Indonesia di semifinal justru terbilang buruk. Dalam tiga kesempatan, dua berakhir dengan kekalahan. Tim Garuda kalah 1-2 dari Malaysia pada 2004 dan ditaklukkan Thailand 0-1 pada 2008. Adapun kemenangan diraih atas Filipina pada 2010 dengan skor tipis, 1-0.

Sudah begitu, dalam uji tanding terakhir sebelum putaran final Piala AFF 2016, Tim Garuda kalah 2-3 dari Vietnam. Memang itu cuma uji tanding, namun tetap saja tak bisa dikesampingkan begitu saja. Terlalu naif menafikan hasil laga itu. Patut dicatat, Indonesia tampil full team pada laga tersebut. Lagi pula, penampilan Boaz dkk. kala itu pun tak jauh beda dengan saat melakoni tiga pertandingan di penyisihan grup lalu. Artinya, performa Indonesia terkesan stagnan.

Hal lain yang patut diperhatikan, dalam satu dekade terakhir, laga kontra Vietnam selalu berakhir dengan skor ketat. Kedua tim sama-sama hanya memetik satu kemenangan dalam tujuh pertemuan sejak 2007. Sisanya, lima pertandingan berakhir imbang. Laga nanti pun sepertinya akan seperti itu.

Yanto Basna (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Faktor lain yang seharusnya membuat publik sepak bola tanah air menurunkan ekspektasi dan lebih realistis adalah kepastian Indonesia tampil tanpa duet bek tengah Yanto Basna dan Fachrudin Aryanto. Memang benar performa mereka selama di Filipina belum memuaskan. Namun begitu, keduanya adalah andalan Riedl.

Bukan hanya selama di putaran final, Yanto Basna dan Fachrudin selalu diandalkan Riedl selama masa persiapan. Dalam empat uji tanding, keduanya selalu jadi starter. Ini menunjukkan kepercayaan sangat besar dari sang pelatih kepada mereka. Secara otomatis, ketika keduanya absen, Riedl dipastikan pusing karena harus berpaling kepada para pemain yang dinilainya berada di bawah mereka.

Perubahan di jantung pertahanan ini tak bisa dianggap remeh. Bagaimanapun, duet di antara tiga pelapis, Manahati Lestusen, Gunawan Dwi Cahyo, dan Hansamu Yama Pranata, menimbulkan tanda tanya. Sanggupkah mereka langsung menyatu dengan tim, terutama penggawa lainnya di lini belakang?

Melihat fakta-fakta itu, tak perlu ada ekspektasi berlebihan. Kembalikan saja harapan ke ambang wajar. Bukan, bukan berarti harus pesimistis dan tak perlu berharap Boaz dkk. lolos ke final. Cukuplah bersikap realistis, tak berlebihan. Siapa tahu, justru itu yang akan melambungkan Tim Garuda lebih tinggi lagi. Lagi pula, bukankah segala sesuatu yang berlebihan itu tidaklah baik?

*Penulis adalah komentator dan pengamat sepak bola. Tanggapi kolom ini @seppginz.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.