Sukses

Ranieri, Italia dan Neraka

Sepanjang kariernya sebagai pelatih, Claudio Ranieri telah merasakan manis pahitnya berkiprah di tiga negara utama Eropa. Lalu, mengapa The Tinkerman menilai Italia sebagai neraka?

Liputan6.com, Roma: Tidak banyak pelatih yang dapat merasakan manis pahitnya berkiprah di kancah sepakbola tiga negara utama Eropa: Spanyol, Inggris, dan Italia. Salah satunya adalah Claudio Ranieri. Allenatore asli kelahiran Roma 20 Oktober 1951 itu memulai kariernya saat mengantarkan Cagliari meraih tiket promosi ke Serie B dan Serie A secara beruntun pada 1989 dan 1990. Ranieri pula yang menerbangkan Fiorentina ke kasta tertinggi persepakbolaan Italia pada 1993 seraya meraih gelar Coppa Italia dan Piala Super Italia.

Rapor gemilang mantan defender AS Roma itu membawanya melanglangbuana ke ranah Spanyol. Ranieri sukses mengharumkan nama Valencia dengan membawanya berkecimpung di Liga Champions dan merebut gelar Copa del Rey pada 1999. Setelah semusim “mampir” di Atletico Madrid, Ranieri dicomot Chelsea pada September 2000. Meski gagal mengantarkan gelar bagi The Blues, Ranieri mampu membangun fondasi skuad Chelsea dengan merekrut Frank Lampard dan bek William Gallas. Sayang, pemilik baru Chelsea, taipan asal Rusia Roman Abramovich menilai Ranieri tak mumpuni untuk memberikan gelar Liga Premier maupun Liga Champions.

Walhasil, Ranieri dipecat dan kembali ke Estadio Mestalla. Gagal menoreh prestasi seperti periode sebelumnya, The Tinkerman, julukan yang didapat Ranieri sewaktu menangani Chelsea, hengkang ke Parma, Juventus, dan akhirnya menangani klub yang membesarkannya semula: Giallorossi. Sempat menempel ketat Jose Mourinho dan Inter Milan di musim 2009-2010, pada 20 Februari lalu Ranieri meletakkan jabatannya menyusul kekalahan memalukan 3-4 dari Genoa.

Setelah seminggu “membisu”, kini Ranieri buka mulut terkait situasi dan kondisi persepakbolaan di negara yang sempat ia singgahi. Ranieri mengaku sangat tertarik kembali berkiprah di Liga Premier Inggris. Yang menarik, Ranieri memberi label Serie A Italia sebagai neraka. “Dalam sepakbola selalu ada surga dan neraka. Anda bisa menentukan posisi Anda berada di mana. Tapi, jika dibandingkan dengan Inggris, di sini (Italia) rasanya seperti neraka. Saya masih berniat menjadi pelatih. Kompetisi di Inggris sungguh memesona. Tapi, saya pun suka dengan Italia. Musim ini di Roma, saya jadi satu-satunya kambing hitam. Kini mereka (Roma) dan para pemainnya yang dituntut untuk memberi bukti,” tegas Ranieri.

Lebih jauh, Ranieri menyindir sejumlah mantan pemainnya, utamanya kapten reguler Francesco Totti, yang kerap mengeluh dan mempertanyakan kebijakannya. Bukan rahasia umum jika Ranieri sering terlihat bersitegang dengan Totti. “Tahun ini terlalu banyak pemain yang lebih mengutamakan kepentingan dirinya sendiri dibanding tim. Di ruang ganti, setiap pemain awalnya setuju jika di sepanjang musim kami memerlukan rotasi komposisi skuad. Namun, faktanya, di lapangan, sikap beberapa pemain berbeda ketika dirinya digantikan pemain lain. Meskipun saya tidak lagi jadi pelatih, setiap pemain mestinya sadar bahwa harus ada yang dicadangkan,” tandas Ranieri.(MEG/Soccernet)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.